Peluang dan Tantangan Strain Ikan Nila Indonesia
Indonesia telah mengembangkan berbagai jenis ikan nila lokal terutama untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit secara umum tetapi masih ada peluang untuk mengadopsinya secara lebih luas.
Lebih dari sepuluh jenis ikan nila telah dikembangkan oleh para peneliti lokal dalam dua dekade terakhir tujuan utamanya adalah untuk menyediakan jenis ikan yang unggul bagi para petani dan membantu meningkatkan produksi nasional.
Dan tampaknya hal ini telah tercapai karena telah terjadi peningkatan produksi ikan nila hampir tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir : dari 400.000 ton pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta ton pada tahun 2020, pada saat yang sama ikan nila menggantikan ikan mas sebagai spesies yang paling banyak dibudidayakan di negara ini.
Meskipun bukan ikan asli Indonesia ikan nila terbukti cocok dibudidayakan di berbagai jenis dan sistem perairan. Para pembudidaya menggunakan berbagai metode: dari sistem tambak tanah tradisional hingga sistem intensif – termasuk saluran air, keramba, sistem bioflok, tambak yang dilengkapi roda dayung dan bahkan tambak air payau.
Misalnya di Danau Toba di Sumatera Utara ikan nila berhasil menggantikan ikan mas pada awal tahun 1990-an setelah ikan mas menderita wabah virus herpes koi (KHV) yang parah Sementara itu di tempat lain seperti di Tasikmalaya Jawa Barat ikan nila diproduksi dalam monokultur intensif daripada operasi polikultur tradisional.
Produksi ikan nila Indonesia sejak tahun 2010 Produksi ikan nila meningkat hampir tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir : dari 400.000 ton pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta ton pada tahun 2020.
Sejarah singkat ikan nila di Indonesia
Setelah pertama kali diperkenalkan dari Taiwan pada tahun 1969, ikan nila dengan cepat diterima oleh petani dan konsumen di Indonesia dan dikenal sebagai ikan nila lokal untuk membedakannya dari jenis GIFT yang diimpor dari Filipina pada tahun 1995 dan 1997, seperti spesies impor sebelumnya, GIFT juga disambut hangat oleh petani. Pada tahun 1989, Indonesia juga mengimpor ikan nila merah – Chitralada – dari Thailand.
Pada tahun 2000-an Indonesia mulai mengembangkan galur ikan nila unggul sendiri melalui unit penelitian akuakultur pada tahun 2004 dan 2006, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara resmi meluncurkan ikan nila jantan unggul genetika (Gesit) yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan IPB University dan unit penelitian di Sukabumi-Jawa Barat.
Sementara itu Nirwana (Nila Ras Wanayasa) dikembangkan oleh unit penelitian di Wanayasa Jawa Barat baik Nirwana maupun Gesit menggunakan GIFT sebagai salah satu sumber pengembangannya hingga tahun 2016 lebih dari 10 galur lainnya telah dikembangkan oleh beberapa unit penelitian.
Penetasan ikan nila
Pembenihan Ikan Nila Pengembangan strain baru ikan nila ini melibatkan seleksi keluarga, hibridisasi dan dalam satu kasus rekayasa genetika. © Lilis Nurjanah
Pengembangan galur baru nila ini dilakukan melalui seleksi famili, hibridisasi atau dalam satu kasus rekayasa genetika, sebagian besar pengembangan difokuskan pada peningkatan pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit atau adaptasi terhadap kondisi lingkungan tertentu seperti air payau.
Nirwana adalah yang paling aktif dikembangkan dan generasi ketiga diluncurkan pada tahun 2016. Setiap generasi memiliki tingkat pertumbuhan setidaknya 30 persen lebih baik daripada generasi sebelumnya. Bersama dengan Gesit, Nirwana telah menjadi strain yang paling populer di lapangan.
Sementara itu Gesit merupakan satu-satunya galur yang dikembangkan melalui rekayasa genetika untuk menciptakan indukan superjantan dengan kromosom YY. Jika dikawinkan dengan betina dari galur lain, mereka akan menghasilkan hampir 100 persen nila jantan secara genetik (GMT). GMT diklaim tumbuh 150 persen lebih cepat daripada betina dan dapat mencapai berat 600 gram dalam enam bulan.
Galur yang dapat dibudidayakan di air payau juga dikembangkan misalnya Srikandi, Jatimbulan dan Salina yang dapat beradaptasi dengan tingkat salinitas berkisar antara 10 – 20 ppt. Galur-galur ini dikembangkan untuk mengisi tambak udang di sepanjang pantai utara Jawa yang telah ditutup setelah wabah penyakit sejalan dengan rencana pemerintah untuk membuat daerah-daerah ini kembali produktif.
Pengembangan galur baru nila ini dilakukan melalui seleksi famili, hibridisasi atau dalam satu kasus rekayasa genetika. Sebagian besar pengembangan difokuskan pada peningkatan pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit atau adaptasi terhadap kondisi lingkungan tertentu seperti air payau.
Nirwana adalah yang paling aktif dikembangkan dan generasi ketiga diluncurkan pada tahun 2016. Setiap generasi memiliki tingkat pertumbuhan setidaknya 30 persen lebih baik daripada generasi sebelumnya. Bersama dengan Gesit, Nirwana telah menjadi strain yang paling populer di lapangan.
Sementara itu Nila Gesit merupakan satu-satunya galur yang dikembangkan melalui rekayasa genetika untuk menciptakan indukan superjantan dengan kromosom YY, jika dikawinkan dengan betina dari galur lain mereka akan menghasilkan hampir 100 persen nila jantan secara genetik (GMT). GMT diklaim tumbuh 150 persen lebih cepat daripada betina dan dapat mencapai berat 600 gram dalam enam bulan.
Galur yang dapat dibudidayakan di air payau juga dikembangkan misalnya Srikandi, Jatimbulan dan Salina yang dapat beradaptasi dengan tingkat salinitas berkisar antara 10 – 20 ppt. Galur-galur ini dikembangkan untuk mengisi tambak udang di sepanjang pantai utara Jawa yang telah ditutup setelah wabah penyakit sejalan dengan rencana pemerintah untuk membuat daerah daerah ini kembali produktif.
Strain Ikan Nila yang telah dikembangkan di Indonesia
Nama-nama strain :
- Nirwana (nila ras Wanayasa) I, II, dan III Tahun 2006, 2012, 2016
- Salina (ikan nila asin Indonesia) Tahun 2014
- Sultana (seleksi unggul Selabintana) Tahun 2012
- Srikandi (nila perbaikan tahan salinitas dari Sukamandi) Tahun 2012
- Anjani (Andalan jaringan nila Indonesia) Tahun 2012
- Pandu (laki-laki) dan Janti (perempuan) Tahun 2012
- Nilasa Tahun 2012
- BEST (Ikan nila strain unggul Bogor) Tahun 2009
- Larasati (nila merah strain Janti) Tahun 2009
- Jatimbulan (Jawa Timur Umbulan) Tahun 2008
- Gesit (ikan nila jantan genetika Indonesia) Tahun 2004
Peluang dan tantangan
Galur yang dikembangkan sebagian besar di distribusikan sebagai indukan ke unit pembenihan rakyat (UPR). Ini merupakan peluang ekonomi besar yang tidak didominasi oleh beberapa lembaga atau perusahaan bahkan galur seperti prima hitam dan merah dari CP Prima juga menggunakan jalur UPR untuk mendistribusikan indukannya. Lilis Nurjanah pengelola hatchery UPR Ernawati Galunggung
“Ini adalah peluang baru tetapi juga menantang. Tantangan di lapangan adalah memilih praktik terbaik untuk mengoptimalkan kinerja induk. Saya butuh waktu dua tahun untuk menghasilkan formula terbaik. Meskipun ada prosedur yang direkomendasikan oleh produsen induk, modifikasi diperlukan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan,” katanya.
Tantangan juga terjadi di tingkat pembesaran dan menurut Nurjanah benih yang baik harus diimbangi dengan prosedur yang baik terutama yang berkaitan dengan pemberian pakan dan pengelolaan air yang tidak semua petani sadari.
Oleh karena itu, Nurjanah juga memberikan konsultasi kepada pelanggannya dengan mencatat bahwa petani yang lebih berpikiran terbuka dan mencoba apa yang disarankannya memiliki hasil panen yang lebih baik dan model produksi yang lebih berkelanjutan.
Tantangan di lapangan adalah memilih praktik terbaik untuk mengoptimalkan kinerja induk. Saya butuh waktu dua tahun untuk menemukan formula terbaik.
Manajer pembenihan ikan UPR Ernawati Galunggung Lilis Nurjanah yang juga pengguna indukan Nirwana III mengungkapkan galur baru tersebut telah mengubah pola budidaya di Tasikmalaya-Jawa Barat dalam satu dekade terakhir dari polikultur tradisional menjadi monokultur intensif.
Pertumbuhan galur baru yang lebih cepat membuat budidaya lebih mudah diprediksi dan biasanya dijual dengan harga Rp23.000 – 28.000/kg karena kandungan dagingnya lebih tinggi sedangkan ikan nila lokal biasanya hanya dihargai Rp14.000/kg. Nurjanah memproduksi 1 – 1,2 juta larva per bulan untuk memenuhi permintaan petani lokal dan kota-kota sekitarnya.
Sementara itu Daru Handoko, seorang petani pembesaran dari Tasikmalaya yang lebih menyukai galur Nirwana III, mengatakan galur ini memungkinkannya untuk memproduksi ikan secara intensif dengan lebih banyak siklus dalam setahun.
Kolamnya sedalam 1,2 m dengan kepadatan penebaran 80 ekor per m3 . Ia juga menggunakan berbagai teknologi termasuk kincir air untuk menjaga kadar oksigen terlarut yang baik dan meningkatkan daya tampung, serta pengumpan otomatis untuk mengoptimalkan pengelolaan pakan.
“Dengan sistem seperti itu, saya menebar benih pada ukuran 2-3 cm (12 g) dan memanen dalam waktu sekitar dua bulan saat ikan mencapai berat minimal 125 g, sesuai permintaan pasar lokal. Keberhasilan membudidayakan jenis ikan nila baru tidak hanya ditentukan oleh benih berkualitas tetapi juga oleh pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air yang baik,” katanya.
Bagi petani modern seperti Handoko tantangan tidak hanya datang dari budidaya itu sendiri tetapi juga dari pasar. Ia mengatakan bahwa meskipun ia menggunakan teknologi baru pada akhirnya ia masih bergantung pada pasar tradisional. Hal ini cukup menantang karena penggunaan teknologi baru membutuhkan biaya tambahan. Untuk mengatasi hal ini, Handoko berinovasi dengan menjual ikan beku.
Kesimpulan
Banyaknya galur ikan nila yang telah dikembangkan di Indonesia telah membawa peluang sekaligus tantangan bagi para pembudidaya. Para pembudidaya yang berpikiran maju dapat memilih ikan nila yang sesuai dengan kondisi lingkungan mereka dan menemukan praktik terbaik untuk budidayanya dan pada akhirnya meningkatkan produktivitasnya.
Namun bantuan dari pemerintah atau sektor swasta diperlukan bagi para pembudidaya yang belum memahami pilihan dengan baik. Penting juga untuk digarisbawahi bahwa keberhasilan budidaya tidak hanya ditentukan oleh kualitas galur induk tetapi juga faktor-faktor lain khususnya pengelolaan air dan pakan.
Pengembangan galur saat ini masih difokuskan pada pertumbuhan dan belum pada ketahanan terhadap penyakit tertentu. Tidak ada induk atau benih ikan yang bebas patogen (SPF) tertentu juga tidak ada galur yang tahan terhadap patogen seperti Streptococcus atau tilapia lake virus (TilV). Pemilihan nila berdasarkan sifat-sifat tersebut dapat menjadi tujuan penelitian dalam beberapa tahun mendatang.
By Minapoli
14 Oktober 2022